Kegelisahan itulah yang kemudian membuat saya kerap mempertanyakan keberadaan ruang aman bagi perempuan ketika memilih jalannya sendiri, sekalipun jalan itu sepi dan tidak dominan. Yang membedakan justru manusia, melalui cara pandang, norma, dan prasangka yang dilekatkan pada tubuh perempuan. Di sinilah persoalan ruang aman menjadi penting: bukan sebagai upaya mensterilkan risiko, melainkan sebagai pengakuan bahwa perempuan berhak hadir tanpa terus-menerus dicurigai atau dibatasi. Perempuan butuh ruang aman saat memilih jalannya sendiri, baik untuk menyembuhkan lukanya ataupun hanya sekadar hoby semata. Ketika perempuan terus-menerus diminta menyesuaikan diri demi rasa aman, sementara struktur sosial dibiarkan apa adanya, maka yang terjadi bukan perlindungan, melainkan pembatasan yang dilembagakan.

Source: Kompas December 21, 2025 13:53 UTC